Tuesday, January 24, 2012
Love Me
Thursday, January 19, 2012
China Studies Major University of Indonesia Proudly Presents:Sinofest XI
Saturday, January 14, 2012
C.I.N.A
“Kamu tahu apa yang paling ditakuti orang di dunia ini?”
“Hmm, senjata api? Nuklir? Wabah?”
“Bukan, bukan tiga-tiganya. Kamu tahu apa?”
Aku yang mulai bosan dengan pertanyaannya yang berulang-ulang ini kemudian hanya menggeleng pelan sambil memasang ekspresi ‘wow aku sangat tertarik dengan apa yang sedang kau bicarakan’ terbaikku.
“PENA,” ucapnya perlahan dengan nafas yang sedikit ditahan. Mungkin untuk mendapatkan efek dramatis, entahlah aku tak tahu. Yang pasti sekarang aku merasa canggung. Aku datang untuk diwawancara, bukan untuk mendapatkan kuliah dari Mario Teguh KW Super ini.
Biar kujelaskan lebih dulu bagaimana situasiku sekarang. Umurku 21 tahun, bulan lalu aku baru saja lulus dari sebuah universitas ternama di Jakarta dengan nilai yang tidak cum laude, namun bisa dibilang cukup memuaskan untuk ukuran seorang mahasiswa yang hanya belajar jika keesokan harinya ada ujian. Sedari SMA aku memang tidak pernah suka mengulang pelajaran di tempat lain selain di kelas. Menurutku, belajar ya di kelas, keluar dari kelas kau tidak boleh belajar. Yang harus kau lakukan adalah melakukan hal-hal yang bisa membuatmu melupakan kepenatan belajar di dalam kelas. Bagiku, hal itu adalah menulis.
Aku sudah mulai menulis sejak lama. Tulisan pertamaku yang bisa kuingat adalah surat cintaku kepada teman sebangkuku di Sekolah Dasar. Namanya Ami. Pipinya selalu bersemu merah ketika tersenyum. Bau minyak kayu putih selalu tercium samar-samar menguar dari tubuhnya. Anehnya, aku suka bau itu. Bau itu mengingatkanku pada bau nenekku di kampung yang sudah berusia 70 tahun. Setelah itu aku terus menulis banyak hal. Puisi, cerpen, artikel, sampai surat opini. Namun, bodohnya tidak ada satu pun dari karya tulisku itu yang kuperlihatkan atau kucantumkan di tempat yang bisa dilihat oleh khalayak. Semua itu hanya tersimpan rapi di rak bukuku, di dalam lusinan buku-buku catatan yang telah menemani waktu-waktu kosongku.
Tersimpan rapi sampai hari ini. Hari di mana aku memutuskan mencoba berjudi dengan nasib, dan melamar pekerjaan di sebuah surat kabar yang bisa dibilang adalah pahlawan masa kecilku. Ya, kalau pahlawan masa kecil anak-anak kebanyakan adalah tokoh di dalam komik atau kartun animasi di televisi, pahlawan masa kecilku adalah sebuah surat kabar. Sebuah surat kabar yang telah memberi makan mulut-mulut di dalam keluarga intiku yang kecil. Ayahku adalah staf humas di surat kabar ini dan pensiun pada saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Ibuku adalah kepala bagian administrasi yang jatuh cinta kepada ayahku, seorang pemuda polos dari kampung yang sama sekali tidak terkontaminasi oleh pikiran-pikiran bulus orang kota. Tiap hari ayahku akan membawa pulang surat kabar gratis, dan kami bertiga selalu antri untuk membacanya. Kemudian, 21 tahun kemudian, di sinilah aku, duduk di ruangan kecil ber-AC ini, menyiapkan hati dan mental untuk apa yang akan kuhadapi selanjutnya. Laki-laki yang jika dilihat dari penampilannya itu sepertinya lebih tua dua kali lipat dariku, kembali melanjutkan pidato kecilnya.
“Ya, sudah bertahun-tahun, berdekade-dekade, dan bahkan, berabad-abad, manusia menggunakan pena sebagai senjata andalannya. Sartre, Lu Xun, Li Bai, Kant, Gie, dan beribu-ribu nama lainnya menggunakan pemikiran dan tulisan untuk mengubah dunia. Bukan senjata. Bukan nuklir!” gaya bicara laki-laki ini seperti tokoh-tokoh dalam film-film, dengan ekspresi yang hidup, mata berbinar-binar, dan tangan yang selalu aktif bergerak mengikuti intonasi suaranya. Saat ia ingin agar kata-katanya lebih hidup dan berapi-api, ia membelalakkan matanya lalu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah. Ini mengingatkanku pada film-film mafia Itali di mana para tokohnya sering menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang mengukur sesuatu.
“Dan itulah yang menginspirasi surat kabar ini untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Pena,” ujarnya dengan nada konklusif yang menyiratkan kepuasan akan apa yang telah dia sampaikan kepadaku selama setengah jam terakhir.
“Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kamu siap atau tidak menjadi pewarta Pena. Seorang jurnalis harus menyajikan suatu kebenaran tanpa distorsi apapun, tidak peduli situasi apapun yang sedang dihadapinya. Ia harus menjadi terang di antara yang benar dan yang salah.”
Bekerja di Pena merupakan impianku sejak kecil, dan harus kuakui apapun yang laki-laki ini lakukan, ia telah melakukannya dengan baik. Ia berhasil menantang hati nurani kecilku untuk menjadi yang sesuatu yang lebih dari aku yang sekarang. Aku mengangguk dengan perlahan namun pasti.
“Bagus, nak. Saya sudah membaca dua karyamu yang kamu kirimkan via pos. Saya tahu ayahmu. Yang harus kamu ingat adalah, bukan karena ayahmu kamu bisa diterima bekerja di sini, namun karena dua bundel kertas yang kamu kirimkan ke saya minggu lalu. Dua-duanya luar biasa.”
Aku mencerna kata-katanya sebentar, lalu bertanya dengan ragu-ragu. “Jadi..maksud Bapak, saya diterima bekerja di Pena?”
“Selamat datang di Pena, nak,” ucap Pak Candra, itulah nama si Bapak ini, dengan senyum lebar di wajahnya dan tangan yang terbuka, menyambutku masuk ke dalam keluarga Pena.
Hal selanjutnya yang kuingat adalah aku berlari pulang ke rumah, berteriak memanggil ibuku, memeluknya dan setelah itu aku masuk ke kamarku, menutup pintu dan berlutut. Kupejamkan mata, kuhirup nafas dalam-dalam dan mulai berbicara dengannya. Terima kasih untuk segalanya, Yah. Ayah memang selalu tahu yang terbaik untuk Wisnu. Wisnu akan selalu berpegang pada cita-cita Ayah. Menulis untuk mengubah dunia. Pasti.
Seminggu pertama aku bekerja, Pak Candra sudah mengutusku ke berbagai tempat di Jakarta dan Pulau Jawa untuk meliput. Hal pertama yang kuliput adalah peluncuran buku seorang penulis wanita yang cukup kontroversial. Selanjutnya hari-hariku dipenuhi dengan tugas meliput kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Setelah sebulan bekerja, Pak Candra mulai mempercayaiku untuk merambah ke bidang lainnya yang telah kuidam-idamkan sejak dulu, Ekonomi dan Politik. Krisis finansial Asia, peningkatan inflasi, sampai akuisisi sebuah bank ternama di dunia, dipercayakan oleh Pak Candra untuk kuliput. Aku merasa seperti di atas awan. Inilah pekerjaan yang sedari dulu kuimpikan. Bukan hanya mencintai apa yang kita kerjakan, namun juga mengerjakan apa yang kita cintai!
Sampai suatu hari Pak Candra memasuki ruangan kantor dengan muka asam. Kami para jurnalis yang sedang sibuk menulis meliriknya sambil bertanya-tanya dalam hati tanpa ada yang berani mengungkapkan apa yang kami pikirkan. Ia berhenti sebentar di tengah ruangan, menyibakkan rambutnya ke belakang, menutup mata, lalu bertahan dalam pose itu selama beberapa detik sebelum menghela nafas panjang dan kemudian memanggilku.
“Wisnu, masuk ruanganku lima menit lagi ya.”
“Baik, Pak.” Wajahku menunjukkan ekspresi tenang meskipun hati ini sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Rekan-rekanku yang lain juga melemparkan pandangan penuh tanya ke arahku yang hanya kubalas dengan mengangkat bahuku sedikit. Setelah mengetik satu paragraf, aku pun bangkit dan berjalan menuju pintu ruangan Pak Candra.
“Masuk, Wis.” Lalu ia mengisyaratkanku untuk duduk.
“Kita tidak bisa menulis hal-hal seperti kemarin lagi.”
“Maksud Bapak? Seperti artikel penggelapan uang yang saya tulis kemarin?” Pak Candra tidak menjawab pertanyaanku, namun aku tahu diamnya itu berarti iya.
“Tapi itu memang kenyataan, Pak. Itu yang saya dapat dari hasil wawancara dan observasi saya! Kalau itu tidak saya tulis, itu sama saja dengan membelokkan fakta, Pak!”
“Iya, saya tahu. Saya sudah menjadi wartawan lebih dulu dan lebih lama dari kamu. Saya tahu betul tentang itu, Wisnu.” Pak Candra berhenti sebentar, mengambil kotak rokok bergambar Mao Zedongnya dan menyulut sebatang rokok.
“Kamu tahu betapa sulitnya kakek saya dulu membangun surat kabar ini?” Aku menggeleng.
“Sulit sekali bagi orang Tionghoa yang tinggal di sini untuk membuka sebuah perusahaan surat kabar. Bukannya kenapa-kenapa, tapi uang. Birokrasi selalu meminta uang yang lebih dan lebih lagi. Mereka pikir semua orang Cina pasti kaya. Surat kabar ini pernah nyaris bangkrut kamu tahu? Ayah saya dulu pernah menulis artikel yang menyinggung beberapa pihak, kemudian Pena ditutup selama tiga bulan sampai akhirnya Kakek saya membayar uang tebusan Ayah. Untuk menjalankan Pena kembali pun, masih saja dibutuhkan ini lagi,” cerita Pak Candra sambil membuat gerakan isyarat ‘uang’dengan tangannya.
“Bapak..keturunan Cina?”
“Tionghoa, Wis. Tionghoa. Kakek dan ayah saya, bisa mencak-mencak kalau dengar kata itu. Cina. Mereka berdua sepertinya sudah sakit hati sekali dengan kata itu. Korban rasisme mereka dulu,” Pak Candra tertawa kecil, membuang puntung rokoknya ke asbak, dan mulai menyulut batang yang kedua.
“Eits, maaf, kamu mau?” ia menyodorkan kotak rokoknya kepadaku. Aku menggeleng pelan. Pak Candra pun melanjutkan ceritanya lagi.
“Tapi kalau saya sih sudah bukan Cina lagi. Keturunan sih iya, cuma kamu lihat lah muka saya ini. Mata belo, kulit coklat, rahang macam orang Batak. Sering dikira orang Batak saya ini. Kebetulan pula aku ini orangnya senang ngerjain orang. Suka kali aku ngomong pake logat Batak macam ini. Bah!,” Pak Candra tertawa dan aku juga ikut tertawa.
“Ibuku orang Cina-Flores, ayahku Cina totok dari Bangka-Belitong. Ibuku orang pertama yang membuat Ayah yakin bahwa perbedaan itu indah. Ada untuk dihargai, bukan untuk diinjak-injak. Manusia itu tidak boleh dikotak-kotakkan, kau tahu Wis? Kadang mereka lebih baik diplastikkin.” Lelucon Pak Candra yang terasa kering mau tak mau membuatku tertawa.
“Intinya,” pak Candra mengangkat satu telunjukknya dengan telapak tangan menghadap ke arahku. Nada bicaranya kembali serius. “Intinya, aku masih punya keluarga yang harus kutopang. Apa kata anak istriku nanti kalau aku pulang membawa barang-barang dari kantor karena kantornya terpaksa harus ditutup? Mulai sekarang kita tidak akan menulis hal-hal seperti kemarin lagi. Kalau memang yang kita temukan adalah borok, ya tulis yang bagus-bagus saja, buang boroknya. Atau tidak usah kita tulis sama sekali saja.” Aku terdiam sebentar meresapi kata-katanya.
“Tapi pak, apa kata anak Bapak saat ia sudah besar nanti, dan ia menemukan bahwa ayahnya hanyalah bentukan atau ‘pesanan’ birokrasi?”
“Maka akan kuceritakan yang sesungguhnya, sehingga anakku tidak akan berakhir seperti bapaknya.”
Idealisme lawan Realita. Pak Candra sang idealis yang ingin menjadi lilin di antara kegelapan akhirnya tunduk menyerah pada kenyataan. Ini seperti menonton film superhero dengan sebuah akhir yang menyedihkan. Namun Wisnu bukan Pak Candra. Aku tidak akan menyerah pada mereka yang ada di atas! Kekuasaan ada di dalam pena dan tulisan, bukan di dalam uang! Aku terus menuliskan tentang kebobrokan birokrasi meskipun Pak Candra telah melarangku. Setelah tulisan-tulisan itu terbit dan masuk ke dalam surat kabar, toh Pak Candra pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Seorang penjaga sel membawa senapan berburu panjang membuka pintu sel. Di belakangnya dua orang pria dengan setelan rapi dan berjas putih panjang, sepertinya dokter, menatapku dengan teliti. Penjaga sel mempersilakan kedua dokter itu masuk, menutup pintu lagi, dan berdiri di depan pintu memperhatikan kami dengan seksama.
“Halo, Candra.”
“Aku bukan Candra! Aku Wisnu!”
Kedua dokter itu saling berpandangan. Yang satu yang sepertinya terlihat lebih muda, menjelaskan situasinya kepada dokter yang lagi yang kira-kira berusia empat puluh tahun.
“Candra Indra Natama Anggara adalah kasus kita yang cukup spesial, Dok. Ia mempunyai seorang ‘teman’ bernama Wisnu, yang sifatnya merupakan kontradiksi dari Candra. Sejauh analisis kami, Wisnu muncul dari tekanan yang dialami Candra. Wisnu adalah bentuk pemberontakan seorang Candra. Karena pemberontakan seorang Wisnu, maka sekarang mereka berdua ditahan di sel ini. Yang sedang kami coba yakinkan kepada para juri dan hakim adalah terdakwa memiliki penyakit jiwa yang menyebabkannya tidak bisa membedakan kenyataan. Dan seperti yang Dokter lihat tadi, yang ada di depan kita sekarang adalah Wisnu.”
“Apa yang kalian bicarakan? Aku memang Wisnu! Pak Candra tidak ada di sini! Ia telah kalah! Ia bebas bersenang-senang di luar sana dengan para orang kaya itu, sementara aku di sini menang! Biarpun aku terkurung, tapi aku menang! Aku akan terus menulis sampai tanganku lumpuh. Tidak, bahkan setelah tanganku lumpuh, aku akan menulis dengan mulut. Kalau mulutku lumpuh, akan kutulis dengan kaki!”
“Namamu bukan Wisnu. Kamu adalah Candra Indra Natama Anggara. Kalau kamu tidak percaya kamu boleh lihat papan itu,” dokter yang lebih tua mengisyaratkanku supaya melihat ke papan putih yang digantung di kaki tempat tidurku. Di atas papan itu tertulis,
Nama: C.I.N.A
Tanggal: 21-02-1991
Penyakit: Skizofrenia/Gila