Sunday, December 28, 2014

Best K-Dramas of 2014!

2014 is almost finished, 2015 is almost here, and dude, did I watch a looooot of dramas this year! It may not be as much as 2013, I gotta say this year was not my most productive year in watching K-Dramas, but I do really find a lot of my all time favorite dramas this year. I favor them so much that I feel like I really have to make a post specially dedicated to these dramas.

Without further ado, I present you my top favorite dramas of 2014, in order from 5 to 1:

5. Plus Nine Boys

I heard rumors about Kim Young Kwang and his controversial body shaming interview in 2013, but truthfully I searched the whole internet and I couldn't find the said interview, so it was still just a rumor to me. Even though it's true and I am a kinda subjective person when it comes to celebrity personalities, I still really like him in Plus Nine Boys.
He portrayed Kang Jin Goo perfectly, his longing stare, his playful smirk, and all of that. And you know, I'm really a sucker when it comes to friends-turn-lovers drama plot, and this one totally got me.

4. Discovery of Romance
I think I've never watch a drama where I can quote the dialogue as much as I can quote Discovery of Romance. This drama is filled with in-yo'-face love quotes, and I think this is maybe a first drama where I actually cried when the lead couples broke up (the second breakup, episode 10, if ya' know what I mean).
I am going to quote it for you here.

Kang Tae Ha (Eric Mun) to Han Yeo Reum (Jung Yumi):
“Let’s break up. Now, let’s properly break up. I couldn’t break up with you because I didn’t know why we broke up in the first place. And you’ve been resenting me all this time. You’re not broken up if you’re still resenting that person. Be happy, Han Yeo-reum. I’m glad I can sincerely say this to you.”

I'm feeling ya' dude. Say what, btches?

3. Marriage Not Dating
Don't think of this drama as the ordinary contract marriage drama. Not before you watch it. Just don't. I really like that this drama give us sight to what can really happen after marriage, and what marriage is about. It's not always glitter and gold, but if it's worth it, you gotta be optimistic and give it a go. It is so much more realistic than happily ever after.
So many comical scenes in this drama and I pretty much enjoy it. The directing style is fun and light, and yet I was surprised too many times to see the depth and how philosophical some scenes are. 

2. It's Okay, It's Love
It's Okay It's Love is hands down, the drama with the most good looking casts and the best soundtrack of 2014! I know Gong Hyo Jin may not be everyone's cup of coffee, but that's where she becomes special. She has this down to earth style and approachable vibe that makes her more believable. You wouldn't believe in someone whose face is too made up, or too pretty, you would believe in someone who looks cool effortlessly, like Gong Hyo Jin does. Together with Jo In Sung, they are match made in heaven. 
And, THE SOUNDTRACK. Oh, the soundtracks. Even after finished watching it for awhile now, I still can remember what song plays on what scene, and how were the casts expressions on that exact scene. It's like the songs are made for the series, and were blended in perfectly.
I would like me some Jang Jae Yul, please!


And, the best drama of 2014 is...

1. Misaeng
I could tell you like a hundred good reasons of why you should watch Misaeng, and could not find a single reason why not to. I'm sure no dramas are perfect, but I couldn't really find any worth-mentioning problem with Misaeng.
The casts, the acting, the soundtrack; it's like I can literally hear my heart screaming inside whenever a scene really rocks out, or whenever Jang Geu Rae is doing something awesome again, or whenever Chief Oh is being... just being Chief Oh. No other praise I can give out to Misaeng other than suggesting you, no, ORDERING you to watch it.
Sure, this drama is not for those of you who wants to see a jiggidy-wiggidy romance between man and woman. This is a 20-episodes series with no romance, but the main love line is between the workers and the superiors. But I gotta warn you now, that it is soooo good it is more heartbreaking and warms you inside.

Please find below my favorite Misaeng OST of the bunch. Mostly because I feel the lyrics really match the series well. About how corporate slaves work all day, with all of their heart, but they kind of don't know why. The situation that most of company workers (maybe especially those who work in Sales, the work background used in this drama) can relate to.

Sunday, September 28, 2014

A Reflection, Not A Memorization

Saya kadang mikir, kayaknya sekarang bukan zamannya lagi mengkhotbahi dan menceramahi orang tentang agama. Orang yang baik pasti akan tercermin dari perilaku dan sifatnya. Apapun agamanya, orang akan melihat dia sebagai orang yang menyenangkan, tanpa peduli berapa banyak ayat kitab yang bisa dia kutip atau dia hafal.

Seperti kata ibu Maya Angelou, dalam beberapa tahun, kita akan lupa apa yang orang lakukan atau katakan kepada kita, tapi kita tidak akan pernah lupa apa kesan kita terhadap orang tersebut. Kalau yang bisa kita ingat hanyalah betapa orang itu selalu membuat tidak nyaman, selalu menyakiti hati, selalu egois, ya apalah gunanya ayat-ayat kitab yang dia kutip dengan tujuan menyejukkan jiwa pembacanya itu?

Mengkhotbahi orang untuk cepat menikah supaya tidak dosa, menceramahi orang untuk berserah diri kepada Tuhan, menegur orang-orang yang jarang ke gereja, memarahi orang-orang yang suka berbicara tentang orang lain. Apalah gunanya berusaha memahamiNya jika tidak berusaha memahami manusia terlebih dahulu? 

Untuk orang-orang yang sudah berhasil memahamiNya dan juga memahami sesama manusia, saya salut dan menyatakan bahwa saya kagum sekagum-kagumnya. Saya kenal beberapa orang yang sudah bisa melakukan itu. Untuk orang-orang yang selalu berusaha melakukan hal yang pertama tanpa belum menguasai hal yang kedua, pahamilah bahwa hidup ini bukan hanya dikontrol oleh ayat, namun juga interaksi manusia. Mencintai Tuhanmu harus bisa dimulai dari mencintai diri sendiri dan sesama manusia. Jika kamu tidak menyukai dirimu sendiri, dan/atau selalu membuat orang lain merasa jengah kepada dirimu, bagaimana kamu bisa mencintai Tuhanmu dengan tulus? Ya, kecuali kamu seperti Vidi Aldiano yang mencintai dirinya hanya untuk status palsu.. Pelarian gitu mungkin?

Namun siapalah saya ini untuk bisa menentukan standar cinta terhadap Tuhan.. After all, saya hanyalah perempuan yang belum menikah, yang jarang pergi ke gereja dan masih suka ngomongin orang.. :)


Salam,
AnakNya yang kandung sekandung-kandungnya.

Sunday, August 24, 2014

Guilty Or Innocent, That Is (Not) The Question

Suatu malam, saya pulang naik ojek dari sebuah stasiun di bilangan Jakarta Barat. Di tengah perjalanan, tukang ojek yang beberapa malam sebelumnya juga sudah mengantar saya pulang melontarkan sebuah pertanyaan untuk saya.

Ojek (O): Kenapa belum berkeluarga, dek?
Saya (S): Yah, saya kan masil kecil kali, pak..
O: *nada agak heboh* loh kenapa, nikah kan ga pandang umur! Terus kamu target nikah umur berapa dong? 30? *dengan nada sedikit meremehkan*
S: Ya ga ada target lah, pak.. Kalo ada yang cocok ya nikah, kalo ga ada ya udah..
O: Loh, jangan gitu dong, itu dosa! Kan pria dan wanita diciptakan supaya bersama, jangan jadi terlalu pemilih lah! Anak zaman sekarang tuh begitu, selalu terlalu pilih-pilih.
S: Lah iya lah pak, saya pilih-pilih! Masa kalau ga cocok mau saya nikahin juga? Ngga kan..
O: Makanya kamu cari di gereja dong, ga ada itu anak gereja yang brengsek. Semuanya pasti orang baik.
S: *ketawa sepet* (ya ga gitu juga kali pak, mau tidurnya sambil manggul salib kek, kalo udah brengsek mah brengsek aja..)

Jujur saya agak shocked. Dalam beberapa menit saja, saya berubah dari seorang gadis biasa yang baru pulang kerja, menjadi seorang gadis pendosa.

Saya agak bingung sih sama pandangan orang Indonesia tentang pernikahan. Tentunya saya tidak bisa bilang hanya orang Indonesia yang berpandangan seperti ini karena pasti di negara Asia lain juga ada stigma semacam ini, namun mari sebut saja "orang Indonesia" di sini, karena saya tinggal di Indonesia.

Sepertinya sebagian besar masyarakat mempunyai pandangan yang hampir sama, bahwa wanita yang memasuki usia 20-an haruslah sudah menikah sebelum memasuki usia kepala tiga. Kalau sampai kami, para wanita Indonesia belum menikah sesudah memasuki usia tersebut, maka kami akan dipandang sebagai wanita kelas kedua. Wanita yang ga laku. Kalau kami sukses dan belum menikah, maka kami akan disebut workaholic. Atau lesbian. Atau kelewat pemilih. Atau intimidatif. Saya tidak ingin menjadi feminis hardcore dan mengatakan bahwa opini ini hanya ditujukan kepada kaum wanita saja, karena sepertinya kaum Adam Indonesia pun mengalami efek yang sama dari stigma pernikahan ini.

Namun berdasarkan pengamatan sok tahu saya, ada sedikit perbedaan dari efek yang terjadi pada pria dan wanita dalam hal pernikahan. Reaksi kebanyakan orang jika seorang wanita maupun pria 30-something belum menikah, dia akan dicap workaholic dan/atau tidak laku. Jika ini terjadi pada wanita, ada saja orang yang akan berkata "Makanya, jadi cewek jangan terlalu sukses". Jika ini terjadi pada pria, kebanyakan orang pasti berkata "Makanya, cepetan cari istri".

Ada yang tidak adil di sini. Seakan-akan seberapa tua pun seorang pria, dia akan tetap bisa dengan mudah mencari istri, dan akan ada aja yang mau sama dia (and let's face it, in some cases, it is true). Namun bagi wanita, terlalu pintar dan/atau sukses adalah harga mati. Tidak mungkin akan ada pria yang mau sama dia, kecuali dia rela meninggalkan sedikit atau bahkan segala kesuksesannya dan 'melemahkan' dirinya di hadapan pria.

Yang saya bahas di post ini sekarang sebenarnya cerita lama. Lagu lama. Bahan lama. Argumen yang sudah ada bertahun-tahun lamanya. Namun baru kali ini saya benar-benar mengalami contoh kasusnya, dengan seseorang yang asing pula. Asing dalam artian, saya baru dua kali bertemu dengan supir ojek ini, kualitas pembicaraan kami pun tidak terlalu tinggi karena kami mengobrol tanpa bertatapan muka alias sambil dibonceng. Dari kuantitas dan kualitas yang ga seberapa itu, dia sudah berani mengajak saya bercakap-cakap tentang suatu isu yang sebenarnya menurut saya tidak pantas untuk dibicarakan dengan orang yang baru dikenal.

Dari situ saya beranggapan bahwa hal ini sudah menjadi suatu opini publik bahwa wanita Indonesia harus sudah dilengkapi dengan ide dalam kepala (dan bahkan jiwanya) bahwa menikah itu harus di usia kepala dua. Bahwa semua wanita Indonesia haruslah sudah memiliki target usia untuk menikah. Sehingga untuk menanyakan target usia menikah (yang mana diharapkan adalah 20-something) kepada seorang wanita tidaklah dipandang sebagai suatu ketidaksopanan, melainkan hanya pertanyaan kasual yang umum. Sekasual dan seumum pertanyaan "Apa kabar?" atau "Sudah makan belum?".

Saya bukannya tidak menghargai atau tidak menginginkan pernikahan. Saya menghargai teman-teman saya yang punya target menikah dan tidak memaksakan opini saya bahwa menikah itu tidak perlu target usia. Saya pun juga mau menikah. Saya sudah punya ide di kepala saya tentang bagaimana nanti saya akan mengatur rumah tangga dan keluarga saat menikah nanti. Di dalam ide ini, semuanya harus diawali dengan satu hal. Seorang pria yang baik. Baik di sini memiliki arti yang luas. Dia tidak harus sempurna karena kesempurnaan hanya milikNya semata. Bagi orang-orang yang jujur dengan hatinya sendiri, bukanlah hal yang sulit untuk mengetahui apakah seseorang "klik" atau tidak dengan dirinya. You will know when it comes. You will know when someone is right for you, because you can see how your future is gonna be with him/her.

Menurut saya, pernikahan berjangka selamanya dan bukanlah sesuatu yang main-main. Bagi beberapa orang, ini bukan soal harga diri, tapi soal hati. Kalau memang tidak cocok, mengapa harus menikah? Orang ini yang nantinya akan jadi teman hidup kita selamanya, mengapa kita harus memaksa diri untuk menerima sesuatu yang istilahnya 'nggak kita banget' hanya untuk menyesuaikan diri dengan opini publik? Karena dikejar waktu? Karena dikejar apa?

Sedihnya, patokan seseorang sudah menjadi utuh atau belum adalah dari status pernikahannya. Jika dia sukses tapi belum menikah, oh pasti ada sesuatu yang salah dengannya. Jika dia melarat namun sudah menikah, oh setidaknya dia waras.

Jika memang ukuran keutuhan seseorang adalah dilihat dari status pernikahannya, maka orang-orang yang belum menikah dan bercerai adalah orang-orang yang tidak utuh atau 'cacat'. Semakin banyak orang yang akan lebih memilih untuk mempertahankan sebuah hubungan yang tidak sehat hanya demi mentaati opini publik. Semakin banyak orang yang asal-asalan menikah (yang kemudian tidak jarang diakhiri dengan perceraian) hanya supaya tidak dicap 'perawan tua' atau 'perjaka tua'.

Opini publik ini menyedihkan dan perlu diberantas. Bagaimana caranya? Saya juga tidak tahu. Mungkin bisa dimulai dari tulisan ini. Tulisan yang menyatakan bahwa saya, gadis belia yang baru saja memasuki usia awal dua puluhan, menolak disebut wanita pendosa hanya karena belum menikah.

Godspeed.

Tuesday, April 15, 2014

Nebengers: Not Just Your Ordinary Online Community

"You know what's worse than people who won't believe before they see? It's the people who won't believe even after they have seen."


Kali ini, saya mau ngereview sebuah komunitas transportasi Indonesia yang sudah saya ikuti sejak lama, sekitar tahun 2012 awal, yaitu komunitas Nebengers. Saya mau membahas ini secara sederhana saja, dari sudut pandang seorang cewek 23 tahun, yang juga sudah tinggal di Jakarta selama 23 tahun. Cewek yang ga tahu apa-apa tentang tingkat pemanasan global dunia, tingkat kenaikan populasi Jakarta, atau angka harian kemacetan Jakarta. Saya ga akan membuat review ini menjadi terlalu ekspositif dengan segala macam keterangan dan deskripsi tentang sejarah Nebengers yang kalian semua bisa cari sendiri di internet. Saya ga akan membahas banyak statistik di sini.

Saya mulai join di komunitas ini sejak awal tahun 2012. Well, sebenarnya ga ada cara yang terlalu pasti untuk bisa 'join' ke komunitas ini, atau patokan tertentu yang menyatakan bahwa seseorang udah 'join' di komunitas ini atau belum, karena pada dasarnya siapapun bisa 'join'. Dengan dasar komunikasi via Twitter, user hanya perlu mention @nebengers, lalu post tweet dengan format yang sudah ditetapkan. Mau #CariTebengan, #BeriTebengan, atau bahkan #ShareTaxi, semua bisa dibagi dan dilakukan dengan cara mention lewat Twitter. Dengan instan pun, orang yang saling ga mengenal bisa saling membantu.

Waktu itu saya secara tidak sengaja mengenal Nebengers dari tweet seorang teman mengenai sebuah komunitas baru yang keren, menawarkan solusi ringkas dalam hal transportasi dan menangani kemacetan (PS: di akhir review, saya mau menjelaskan analisis-analisisan alias analisis sok-sokan saya sendiri mengenai mengapa menurut saya komunitas ini sangat efektif untuk diberlakukan HANYA di Twitter). Saya yang tergugah dengan tweet teman saya pun langsung kepo dan mengulik akun Twitter @nebengers yang waktu itu followersnya belum sebanyak sekarang. Sewaktu pertama kali mengulik dengan dalam mengenai komunitas ini, pikiran pertama yang ada di benak saya adalah: 'Wow, this community will get big!'

Ya, serius dan jujur, itu adalah pikiran pertama saya saat mengetahui mengenai komunitas ini. Sebagai penduduk Jakarta aseli seaseli-aselinya aka dari brojol udah tinggal di Jakarta, dan ga pernah tinggal lama di kota lain, saya merasa saya punya suatu karakter yang saya rasa juga dimiliki sebagian besar orang Jakarta lainnya, yaitu: OGAH RUGI. Jujur deh, kalau ada yang mau ngasih kamu tebengan Jakarta Barat - Depok dan hanya share uang tol sebesar IDR 18000, terus kamu ga perlu nunggu bis terlalu lama sambil panas-panasan di pinggir jalan, kamu juga ga perlu desek-desekan di dalam angkutan umum yang mana kadang juga ga aman, kamu masih bisa bilang ga mau ga? Dan sejujur-jujurnya pula, ga terbersit sama sekali di pikiran saya untuk mempertanyakan keamanan nebeng via @nebengers ini, karena saat kulik, saya membaca beberapa tips aman menebeng dari mereka yang sangat bermanfaat dan menurut saya cukup masuk akal.

Tips aman menebeng mereka adalah sebagai berikut (as quoted from www.nebengers.com):












Saya yakin semua pengguna media sosial khususnya Twitter pasti udah ga asing banget lagi kok sama tip nomor 6. Yak, kepo aka stalking itu paling penting untuk menjadi penebeng atau pemberi tebengan yang pintar dan aman dari kriminalitas. Kalau ternyata yang mau ngasih kamu tebengan atau mau nebeng kamu itu terlihat mencurigakan, freak, psikopat, atau aneh di akun media sosial mereka, ya tolak aja. Saya sendiri paling ekstremnya pernah memblock salah satu akun yang hendak memberi saya tebengan. Pasalnya, dia membalas tweet #CariTebengan saya tidak dengan mention @nebengers. Ketahuan dong dia hanya asal-asalan mau memberi tebengan, dan tidak seserius itu mengulik tentang Nebengers. That is why, in my humble opinion, a good observer (in this case, the intensity of Twitter usage will determine whether you are a good observer or not) will make a good hitchhiker/hitchhikee (Pffht, hitchhikee, if that word even does exist).

Sebagai seorang mahasiswa yang kuliahnya antar provinsi dan pernah menunggu bis Kalideres - Depok selama enam jam tanpa ada yang lewat satu pun (no lies, folks), saya jujur merasa bahagia cenderung terharu mendengar adanya komunitas semacam ini. I thought, if only I found out about this community a little bit earlier, or if only this community was found a little bit earlier than 2011, then my life would be so easy and happy!

Kalau kamu pikir 'ogah rugi' belum cukup atau bahkan terlalu cetek untuk menjadi suatu alasan untuk merasa bahagia atas ditemukannya komunitas ini, oke sekarang saya kasih kamu alasan yang lebih deep dari sekadar 'ogah rugi'. Ga usah deh jauh-jauh sampai membahas pemanasan global, sekarang kamu suka kesel ga sih kalo liat mobil gede di jalan-jalan Jakarta tapi isinya cuma satu-dua orang? Saya sih nggak kesel.. cuma kalo liat keadaan di luar mobil itu, di mana banyak orang desek-desekan di dalam angkutan umum, atau bahkan mungkin dari nunggu angkutan umumnya lewat aja udah mesti desek-desekan, dan saat dateng mesti rebutan masuk, saya juga tetep ga kesel.. TAPI, jadi mikir aja, kok sayang ya, itu mobil di sebelahnya banyak yang kosong, kenapa yang di dalem angkutan umum ga naik situ aja?

Waktu itu rekor terlama saya mnunggu bis ke Depok adalah enam jam. Saya menunggu bareng seorang ibu muda yang sedang hamil tua, dan seorang bapak agak tua yang sebelumnya sudah sempat pingsan terjatuh di jalanan sampai akhirnya harus saya bopong ke halte. Kalau waktu itu saya udah punya Twitter, dan sudah ada komunitas semacam nebengers, mungkin nasib kita waktu itu akan beda.

Terlalu naif ga sih kalau berpikir bahwa zaman sekarang, di Jakarta pula, nebeng atau memberikan tebengan untuk orang asing adalah hal yang oke dan aman-aman saja? Saya berani menjawab di sini, TIDAK NAIF. Seperti saya sebutkan di atas tadi, nebeng via Nebengers bukan hanya sembarang nebeng. Apa bedanya dari nebeng sembarangan sama orang yang lewat di pinggir jalan? Ya beda lah, di Nebengers semua yang mau nebeng dan beri tebengan harus punya akun media sosial, semua transaksi tebeng-menebeng dipantau dan terbuka di media sosial, apa lagi yang harus ditakutkan? Oke, tapi kalau misalnya akun medsosnya palsu, atau dia terlihat normal di akun medsosnya padahal sebenernya jahat, terus gimana? (PS: semua pertanyaan yang ditebalkan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan asli yang pernah dilontarkan kepada saya, dari orang-orang asli pula) Ok, this is interesting, which will brings us to ALOT aka Analisis Sotoy ala saya sendiri tentang mengapa transaksi nebeng oleh Nebengers ini memang udah paling pas banget dilakukan via Twitter.

Sebagai seorang pengguna aktif Twitter, saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa sebagian besar pengguna Twitter yang sering ngetweet adalah pengguna yang juga suka membaca timeline Twitter, dan tidak jarang juga mencari update berita melalui Twitter. Tahun ini, saya sendiri sudah menggunakan Twitter selama lima tahun, dan saya lebih sering mencari berita tentang hal-hal terkini melalui tweet-tweet orang lain dan akun portal berita di Twitter. Maka itu bisa dipastikan bahwa pengguna Twitter aktif adalah observer yang baik, karena mereka senang memperhatikan dan sudah terlatih skimming timeline Twitter. Saya percaya pengguna akun media sosial, terlebih anggota Nebengers bukanlah orang-orang lugu atau naif yang mau begitu saja memberikan sembarang tebengan, atau sembarang nebeng orang tanpa observe terlebih dahulu. Tidak sedikit teman-teman saya yang menilai para Nebengers sebagai orang-orang yang terlalu naif, atau kegiatan utama komunitas ini sebagai sesuatu yang kurang aman, hal-hal ini dapat saya pahami. Namun tidak bijaksana pula, jika teman-teman menilai tanpa mencoba mengenal Nebengers terlebih dahulu. Bagaimana bisa mereka menjudge, sementara mereka saja baru mengetahui Nebengers setelah saya bercerita bahwa saya habis nebeng dari Kelapa Gading sampai ke rumah.

Let's face the fucking facts. This community is acknowledged by Ministry of Transportation and a lot of national medias have covered it as a community with a noble purpose and a brilliant solution to never-ending traffic of Jakarta. It has a verified app for all kinds of smartphones, and more than 50K followers (and still growing) on Twitter. If it's really an unsafe community, then why the hell does it still operating until now?

John Mayer once said that everyone has a point, but not everyone has to make a point, but in this case, I really do feel that I need to make a point. The same people who judge this community as ridiculous is probably the same people who always say the same classic 'don't judge a book by its cover' proverb. Well, can you really practice what you preach? You might say that it's naive to trust strangers nowadays, but I really do think it's more naive to actually believe that active users of social media nowadays (especially the ones that are better-educated) would easily fall into a false trap of faux offerings via social medias.

Godspeed.

Tuesday, February 18, 2014

Just Imagine

Negative people.
People who just say whatever they want without caring about your feelings.
People who do whatever they want without thinking of the impacts of their actions to your feelings.
People who won't stop whining about their 'miserable life'.
People who get jealous and angered easily.
People who sweat the small stuff.

It's time to keep yourself away from those people and surround yourself with positive people.

Now imagine, if you're really doing that, just exactly how many people would have left?
Just imagine.