Tuesday, April 15, 2014

Nebengers: Not Just Your Ordinary Online Community

"You know what's worse than people who won't believe before they see? It's the people who won't believe even after they have seen."


Kali ini, saya mau ngereview sebuah komunitas transportasi Indonesia yang sudah saya ikuti sejak lama, sekitar tahun 2012 awal, yaitu komunitas Nebengers. Saya mau membahas ini secara sederhana saja, dari sudut pandang seorang cewek 23 tahun, yang juga sudah tinggal di Jakarta selama 23 tahun. Cewek yang ga tahu apa-apa tentang tingkat pemanasan global dunia, tingkat kenaikan populasi Jakarta, atau angka harian kemacetan Jakarta. Saya ga akan membuat review ini menjadi terlalu ekspositif dengan segala macam keterangan dan deskripsi tentang sejarah Nebengers yang kalian semua bisa cari sendiri di internet. Saya ga akan membahas banyak statistik di sini.

Saya mulai join di komunitas ini sejak awal tahun 2012. Well, sebenarnya ga ada cara yang terlalu pasti untuk bisa 'join' ke komunitas ini, atau patokan tertentu yang menyatakan bahwa seseorang udah 'join' di komunitas ini atau belum, karena pada dasarnya siapapun bisa 'join'. Dengan dasar komunikasi via Twitter, user hanya perlu mention @nebengers, lalu post tweet dengan format yang sudah ditetapkan. Mau #CariTebengan, #BeriTebengan, atau bahkan #ShareTaxi, semua bisa dibagi dan dilakukan dengan cara mention lewat Twitter. Dengan instan pun, orang yang saling ga mengenal bisa saling membantu.

Waktu itu saya secara tidak sengaja mengenal Nebengers dari tweet seorang teman mengenai sebuah komunitas baru yang keren, menawarkan solusi ringkas dalam hal transportasi dan menangani kemacetan (PS: di akhir review, saya mau menjelaskan analisis-analisisan alias analisis sok-sokan saya sendiri mengenai mengapa menurut saya komunitas ini sangat efektif untuk diberlakukan HANYA di Twitter). Saya yang tergugah dengan tweet teman saya pun langsung kepo dan mengulik akun Twitter @nebengers yang waktu itu followersnya belum sebanyak sekarang. Sewaktu pertama kali mengulik dengan dalam mengenai komunitas ini, pikiran pertama yang ada di benak saya adalah: 'Wow, this community will get big!'

Ya, serius dan jujur, itu adalah pikiran pertama saya saat mengetahui mengenai komunitas ini. Sebagai penduduk Jakarta aseli seaseli-aselinya aka dari brojol udah tinggal di Jakarta, dan ga pernah tinggal lama di kota lain, saya merasa saya punya suatu karakter yang saya rasa juga dimiliki sebagian besar orang Jakarta lainnya, yaitu: OGAH RUGI. Jujur deh, kalau ada yang mau ngasih kamu tebengan Jakarta Barat - Depok dan hanya share uang tol sebesar IDR 18000, terus kamu ga perlu nunggu bis terlalu lama sambil panas-panasan di pinggir jalan, kamu juga ga perlu desek-desekan di dalam angkutan umum yang mana kadang juga ga aman, kamu masih bisa bilang ga mau ga? Dan sejujur-jujurnya pula, ga terbersit sama sekali di pikiran saya untuk mempertanyakan keamanan nebeng via @nebengers ini, karena saat kulik, saya membaca beberapa tips aman menebeng dari mereka yang sangat bermanfaat dan menurut saya cukup masuk akal.

Tips aman menebeng mereka adalah sebagai berikut (as quoted from www.nebengers.com):












Saya yakin semua pengguna media sosial khususnya Twitter pasti udah ga asing banget lagi kok sama tip nomor 6. Yak, kepo aka stalking itu paling penting untuk menjadi penebeng atau pemberi tebengan yang pintar dan aman dari kriminalitas. Kalau ternyata yang mau ngasih kamu tebengan atau mau nebeng kamu itu terlihat mencurigakan, freak, psikopat, atau aneh di akun media sosial mereka, ya tolak aja. Saya sendiri paling ekstremnya pernah memblock salah satu akun yang hendak memberi saya tebengan. Pasalnya, dia membalas tweet #CariTebengan saya tidak dengan mention @nebengers. Ketahuan dong dia hanya asal-asalan mau memberi tebengan, dan tidak seserius itu mengulik tentang Nebengers. That is why, in my humble opinion, a good observer (in this case, the intensity of Twitter usage will determine whether you are a good observer or not) will make a good hitchhiker/hitchhikee (Pffht, hitchhikee, if that word even does exist).

Sebagai seorang mahasiswa yang kuliahnya antar provinsi dan pernah menunggu bis Kalideres - Depok selama enam jam tanpa ada yang lewat satu pun (no lies, folks), saya jujur merasa bahagia cenderung terharu mendengar adanya komunitas semacam ini. I thought, if only I found out about this community a little bit earlier, or if only this community was found a little bit earlier than 2011, then my life would be so easy and happy!

Kalau kamu pikir 'ogah rugi' belum cukup atau bahkan terlalu cetek untuk menjadi suatu alasan untuk merasa bahagia atas ditemukannya komunitas ini, oke sekarang saya kasih kamu alasan yang lebih deep dari sekadar 'ogah rugi'. Ga usah deh jauh-jauh sampai membahas pemanasan global, sekarang kamu suka kesel ga sih kalo liat mobil gede di jalan-jalan Jakarta tapi isinya cuma satu-dua orang? Saya sih nggak kesel.. cuma kalo liat keadaan di luar mobil itu, di mana banyak orang desek-desekan di dalam angkutan umum, atau bahkan mungkin dari nunggu angkutan umumnya lewat aja udah mesti desek-desekan, dan saat dateng mesti rebutan masuk, saya juga tetep ga kesel.. TAPI, jadi mikir aja, kok sayang ya, itu mobil di sebelahnya banyak yang kosong, kenapa yang di dalem angkutan umum ga naik situ aja?

Waktu itu rekor terlama saya mnunggu bis ke Depok adalah enam jam. Saya menunggu bareng seorang ibu muda yang sedang hamil tua, dan seorang bapak agak tua yang sebelumnya sudah sempat pingsan terjatuh di jalanan sampai akhirnya harus saya bopong ke halte. Kalau waktu itu saya udah punya Twitter, dan sudah ada komunitas semacam nebengers, mungkin nasib kita waktu itu akan beda.

Terlalu naif ga sih kalau berpikir bahwa zaman sekarang, di Jakarta pula, nebeng atau memberikan tebengan untuk orang asing adalah hal yang oke dan aman-aman saja? Saya berani menjawab di sini, TIDAK NAIF. Seperti saya sebutkan di atas tadi, nebeng via Nebengers bukan hanya sembarang nebeng. Apa bedanya dari nebeng sembarangan sama orang yang lewat di pinggir jalan? Ya beda lah, di Nebengers semua yang mau nebeng dan beri tebengan harus punya akun media sosial, semua transaksi tebeng-menebeng dipantau dan terbuka di media sosial, apa lagi yang harus ditakutkan? Oke, tapi kalau misalnya akun medsosnya palsu, atau dia terlihat normal di akun medsosnya padahal sebenernya jahat, terus gimana? (PS: semua pertanyaan yang ditebalkan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan asli yang pernah dilontarkan kepada saya, dari orang-orang asli pula) Ok, this is interesting, which will brings us to ALOT aka Analisis Sotoy ala saya sendiri tentang mengapa transaksi nebeng oleh Nebengers ini memang udah paling pas banget dilakukan via Twitter.

Sebagai seorang pengguna aktif Twitter, saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa sebagian besar pengguna Twitter yang sering ngetweet adalah pengguna yang juga suka membaca timeline Twitter, dan tidak jarang juga mencari update berita melalui Twitter. Tahun ini, saya sendiri sudah menggunakan Twitter selama lima tahun, dan saya lebih sering mencari berita tentang hal-hal terkini melalui tweet-tweet orang lain dan akun portal berita di Twitter. Maka itu bisa dipastikan bahwa pengguna Twitter aktif adalah observer yang baik, karena mereka senang memperhatikan dan sudah terlatih skimming timeline Twitter. Saya percaya pengguna akun media sosial, terlebih anggota Nebengers bukanlah orang-orang lugu atau naif yang mau begitu saja memberikan sembarang tebengan, atau sembarang nebeng orang tanpa observe terlebih dahulu. Tidak sedikit teman-teman saya yang menilai para Nebengers sebagai orang-orang yang terlalu naif, atau kegiatan utama komunitas ini sebagai sesuatu yang kurang aman, hal-hal ini dapat saya pahami. Namun tidak bijaksana pula, jika teman-teman menilai tanpa mencoba mengenal Nebengers terlebih dahulu. Bagaimana bisa mereka menjudge, sementara mereka saja baru mengetahui Nebengers setelah saya bercerita bahwa saya habis nebeng dari Kelapa Gading sampai ke rumah.

Let's face the fucking facts. This community is acknowledged by Ministry of Transportation and a lot of national medias have covered it as a community with a noble purpose and a brilliant solution to never-ending traffic of Jakarta. It has a verified app for all kinds of smartphones, and more than 50K followers (and still growing) on Twitter. If it's really an unsafe community, then why the hell does it still operating until now?

John Mayer once said that everyone has a point, but not everyone has to make a point, but in this case, I really do feel that I need to make a point. The same people who judge this community as ridiculous is probably the same people who always say the same classic 'don't judge a book by its cover' proverb. Well, can you really practice what you preach? You might say that it's naive to trust strangers nowadays, but I really do think it's more naive to actually believe that active users of social media nowadays (especially the ones that are better-educated) would easily fall into a false trap of faux offerings via social medias.

Godspeed.