Sunday, August 24, 2014

Guilty Or Innocent, That Is (Not) The Question

Suatu malam, saya pulang naik ojek dari sebuah stasiun di bilangan Jakarta Barat. Di tengah perjalanan, tukang ojek yang beberapa malam sebelumnya juga sudah mengantar saya pulang melontarkan sebuah pertanyaan untuk saya.

Ojek (O): Kenapa belum berkeluarga, dek?
Saya (S): Yah, saya kan masil kecil kali, pak..
O: *nada agak heboh* loh kenapa, nikah kan ga pandang umur! Terus kamu target nikah umur berapa dong? 30? *dengan nada sedikit meremehkan*
S: Ya ga ada target lah, pak.. Kalo ada yang cocok ya nikah, kalo ga ada ya udah..
O: Loh, jangan gitu dong, itu dosa! Kan pria dan wanita diciptakan supaya bersama, jangan jadi terlalu pemilih lah! Anak zaman sekarang tuh begitu, selalu terlalu pilih-pilih.
S: Lah iya lah pak, saya pilih-pilih! Masa kalau ga cocok mau saya nikahin juga? Ngga kan..
O: Makanya kamu cari di gereja dong, ga ada itu anak gereja yang brengsek. Semuanya pasti orang baik.
S: *ketawa sepet* (ya ga gitu juga kali pak, mau tidurnya sambil manggul salib kek, kalo udah brengsek mah brengsek aja..)

Jujur saya agak shocked. Dalam beberapa menit saja, saya berubah dari seorang gadis biasa yang baru pulang kerja, menjadi seorang gadis pendosa.

Saya agak bingung sih sama pandangan orang Indonesia tentang pernikahan. Tentunya saya tidak bisa bilang hanya orang Indonesia yang berpandangan seperti ini karena pasti di negara Asia lain juga ada stigma semacam ini, namun mari sebut saja "orang Indonesia" di sini, karena saya tinggal di Indonesia.

Sepertinya sebagian besar masyarakat mempunyai pandangan yang hampir sama, bahwa wanita yang memasuki usia 20-an haruslah sudah menikah sebelum memasuki usia kepala tiga. Kalau sampai kami, para wanita Indonesia belum menikah sesudah memasuki usia tersebut, maka kami akan dipandang sebagai wanita kelas kedua. Wanita yang ga laku. Kalau kami sukses dan belum menikah, maka kami akan disebut workaholic. Atau lesbian. Atau kelewat pemilih. Atau intimidatif. Saya tidak ingin menjadi feminis hardcore dan mengatakan bahwa opini ini hanya ditujukan kepada kaum wanita saja, karena sepertinya kaum Adam Indonesia pun mengalami efek yang sama dari stigma pernikahan ini.

Namun berdasarkan pengamatan sok tahu saya, ada sedikit perbedaan dari efek yang terjadi pada pria dan wanita dalam hal pernikahan. Reaksi kebanyakan orang jika seorang wanita maupun pria 30-something belum menikah, dia akan dicap workaholic dan/atau tidak laku. Jika ini terjadi pada wanita, ada saja orang yang akan berkata "Makanya, jadi cewek jangan terlalu sukses". Jika ini terjadi pada pria, kebanyakan orang pasti berkata "Makanya, cepetan cari istri".

Ada yang tidak adil di sini. Seakan-akan seberapa tua pun seorang pria, dia akan tetap bisa dengan mudah mencari istri, dan akan ada aja yang mau sama dia (and let's face it, in some cases, it is true). Namun bagi wanita, terlalu pintar dan/atau sukses adalah harga mati. Tidak mungkin akan ada pria yang mau sama dia, kecuali dia rela meninggalkan sedikit atau bahkan segala kesuksesannya dan 'melemahkan' dirinya di hadapan pria.

Yang saya bahas di post ini sekarang sebenarnya cerita lama. Lagu lama. Bahan lama. Argumen yang sudah ada bertahun-tahun lamanya. Namun baru kali ini saya benar-benar mengalami contoh kasusnya, dengan seseorang yang asing pula. Asing dalam artian, saya baru dua kali bertemu dengan supir ojek ini, kualitas pembicaraan kami pun tidak terlalu tinggi karena kami mengobrol tanpa bertatapan muka alias sambil dibonceng. Dari kuantitas dan kualitas yang ga seberapa itu, dia sudah berani mengajak saya bercakap-cakap tentang suatu isu yang sebenarnya menurut saya tidak pantas untuk dibicarakan dengan orang yang baru dikenal.

Dari situ saya beranggapan bahwa hal ini sudah menjadi suatu opini publik bahwa wanita Indonesia harus sudah dilengkapi dengan ide dalam kepala (dan bahkan jiwanya) bahwa menikah itu harus di usia kepala dua. Bahwa semua wanita Indonesia haruslah sudah memiliki target usia untuk menikah. Sehingga untuk menanyakan target usia menikah (yang mana diharapkan adalah 20-something) kepada seorang wanita tidaklah dipandang sebagai suatu ketidaksopanan, melainkan hanya pertanyaan kasual yang umum. Sekasual dan seumum pertanyaan "Apa kabar?" atau "Sudah makan belum?".

Saya bukannya tidak menghargai atau tidak menginginkan pernikahan. Saya menghargai teman-teman saya yang punya target menikah dan tidak memaksakan opini saya bahwa menikah itu tidak perlu target usia. Saya pun juga mau menikah. Saya sudah punya ide di kepala saya tentang bagaimana nanti saya akan mengatur rumah tangga dan keluarga saat menikah nanti. Di dalam ide ini, semuanya harus diawali dengan satu hal. Seorang pria yang baik. Baik di sini memiliki arti yang luas. Dia tidak harus sempurna karena kesempurnaan hanya milikNya semata. Bagi orang-orang yang jujur dengan hatinya sendiri, bukanlah hal yang sulit untuk mengetahui apakah seseorang "klik" atau tidak dengan dirinya. You will know when it comes. You will know when someone is right for you, because you can see how your future is gonna be with him/her.

Menurut saya, pernikahan berjangka selamanya dan bukanlah sesuatu yang main-main. Bagi beberapa orang, ini bukan soal harga diri, tapi soal hati. Kalau memang tidak cocok, mengapa harus menikah? Orang ini yang nantinya akan jadi teman hidup kita selamanya, mengapa kita harus memaksa diri untuk menerima sesuatu yang istilahnya 'nggak kita banget' hanya untuk menyesuaikan diri dengan opini publik? Karena dikejar waktu? Karena dikejar apa?

Sedihnya, patokan seseorang sudah menjadi utuh atau belum adalah dari status pernikahannya. Jika dia sukses tapi belum menikah, oh pasti ada sesuatu yang salah dengannya. Jika dia melarat namun sudah menikah, oh setidaknya dia waras.

Jika memang ukuran keutuhan seseorang adalah dilihat dari status pernikahannya, maka orang-orang yang belum menikah dan bercerai adalah orang-orang yang tidak utuh atau 'cacat'. Semakin banyak orang yang akan lebih memilih untuk mempertahankan sebuah hubungan yang tidak sehat hanya demi mentaati opini publik. Semakin banyak orang yang asal-asalan menikah (yang kemudian tidak jarang diakhiri dengan perceraian) hanya supaya tidak dicap 'perawan tua' atau 'perjaka tua'.

Opini publik ini menyedihkan dan perlu diberantas. Bagaimana caranya? Saya juga tidak tahu. Mungkin bisa dimulai dari tulisan ini. Tulisan yang menyatakan bahwa saya, gadis belia yang baru saja memasuki usia awal dua puluhan, menolak disebut wanita pendosa hanya karena belum menikah.

Godspeed.