Pernah merasa bingung ga sih, "Sebenernya gue kuliah ini buat apa sih?," "Sebenernya ini yang lagi gue pelajarin apa sih? Wtf sih?" Pasti semua orang minimal sekali pernah mikir kayak gini. Gue termasuk orang yang di detik ini pun sedang berpikir seperti itu. Apalagi denger selentingan2 dari beberapa alumni, "Toh ntar pas lo kerja juga ga bakal kepake. Tenang aja."
Oke oke, itu nanti. Tapi sekarang, toh tetep, gue harus melewati semua mata kuliah asem ini.
Setiap kali buka buku Cina klasik, pikiran gue pasti langsung asem. Pertanyaan "Apa sih ini?" bukan lagi hanya bermajas hiperbola, tapi sudah masuk ke ranah harafiah. Bener-bener nanya dengan khusyuk dan khidmat, "Apa sih ini, Tuhan?" Atau ga usa Tuhan deh, "Apa sih ini, PAK?"
Dan pertanyaan ini benar-benar coba gue jawab dengan sepenuh hati. Jawabannya adalah: Ini bahasa Cina klasik. Eyaaaa basi. Lalu dengan menyambungkan dua komponen bahwa (1)Ntar pas kerja ini ga bakalan kepake, dan (2)Ini bahasa Cina klasik, sebenarnya banyak kesimpulan yang bisa gue ambil, tapi hanya satu yang mungkin paling kereng di otak gue: Inilah idealisme. Iya lah, orang-orang yang bersedia nuntut ilmu demi ilmu kayak Rancho di 3 Idiots, mempelajari lebih dalam tentang bahasa-bahasa yang dipakai leluhur-leluhurnya, kalau ini bukan idealisme, maka saya tak tahu lagi apa itu idealisme. Halah.
Setiap kali liat teman-teman seangkatan gue berjuang nerjemahin ini itu, listening ini itu (dan ketika bilang 'teman-teman seangkatan' seakan gue ga termasuk di dalamnya, ya benar, gue memang ga termasuk di dalamnya, karna perjuangan gue lebih di dalam hati dan di saat gue bersujud menghadapNya hahaha), celetukan itu muncul lagi di kepala gue, "Toh ntar pas kerja ga bakalan kepake." Oke, satu: siapa tahu kerjanya emg jadi translator jadi bakal kepake, dua: ya mgkn juga sih, tapi sebenernya ada manfaatnya juga loh.
Ngelihat mereka yang sering banget begadang hampir ga tidur, jadi kepikir bahwa: sebenernya yang mau dilihat bukan nilai kita pada akhirnya (oleh siapapun itu, bukan dosen doang), tapi survival ability kita. Bisa ga sih kita survive dari tantangan-tantangan artifisial semacam ini (ya, maaf, menurut meteran arogansi saya kuliah itu artifisial, tantangan sebenarnya ada di dunia kerja nanti). Kalau tantangan-tantangan yang begini saja kita ga bisa lewatin, apalagi nanti tantangan yang lebih besar di dunia maya? Eh, nyata maksudnya.
Lama kelamaan gue makin merasa kuliah ini makin kayak Fear Factor aja. Bisa ga kita overcome rasa takut kita, dan mengolahnya menjadi suatu output yang baik, yaitu sikap positif kita ga peduli betapa buruknya pun nilai-nilai kita, atau mungkin menjadi suatu result yang lebih baik, yaitu selamat melewati semua 'faktor ketakutan' yang disediakan. Sampai jumpa di Fear Factor selanjutnya! :D
Godspeed.
Wednesday, November 17, 2010
Survive the Fear Factor
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
gue kasih bintang 5! love the post bernardine :D
awww maacih vava :*
Post a Comment