Monday, December 24, 2012
Your Choice
Sunday, December 2, 2012
Mystery
Thursday, November 22, 2012
With You
I always question myself more than I supposed to
I always feel like my life is hanging on by a thread
I always wonder why does love have to be this complicated
With you, I was scared of myself
I was scared of all the decisions I make
I was scared of every little simple steps I take
I was never able to see things clearly
With you, I felt so fragile and small
I felt like a trash ready to be burned away anytime
I felt like a little girl on a seesaw
I felt like there's no certainty in life
But still..I thank Him for having put you in my life
With you, I realize that the world isn't exactly as I thought it was
I realize just how much stronger I could be
I realize just how much people care about me
So..thank you, You. Yes, You. :)
Godspeed.
-Happy Thanksgiving 2012-
Wednesday, November 21, 2012
Tentang Telinga
Dan, ketika lo punya masalah, lo akan ngerasain ini semua. Bahwa semua orang udah terlalu sibuk dengan masalahnya masing-masing, dan lo akan merasa ga enak untuk membebani mereka semua dengan masalah lo yang (mungkin) lebih sepele dibandingkan dengan masalah mereka. Bahwa saat lo cerita ke mereka, lo cuma pengen direspon, lo ga perlu solusi, lo cuma butuh telinga. Bahwa ternyata ga semua orang bisa mengerti dan mau bersimpati sama masalah lo karena ya..itu bukan urusan mereka. Karena sesungguhnya orang yang rela meminjamkan telinganya saja, ya hanya telinga saja, adalah orang yang mulia.
Thursday, August 30, 2012
A Cheesy Summer Experience
Thursday, June 7, 2012
Four Years
Tuesday, June 5, 2012
Teman Kuliah
1. Teman merendah untuk ditinggikan. Jelas-jelas dia paling pinter sekelas, tapi giliran ujian tiba, bukannya ngehibur temen-temen, dia malah ikutan ngeluh, dalam beberapa kasus bahkan dia lebih banyak ngeluhnya. Namun, ketika hasil ujian keluar.....*jeng jeng*
Sunday, June 3, 2012
Rindu
Sunday, May 27, 2012
Teruntuk Calon Keluargaku
Pertama, kenapa sih saya pilih Sastra Cina UI? UI, jelas. Nama UI sebagai universitas nomor satu di Indonesia sudah terkenal sejak dulu. Sastra Cina? Well..sebenarnya Sastra Cina pun hanyalah pilihan kedua saya. Pilihan pertama saya adalah Komunikasi dan saya gagal diterima masuk. Namun tidak masalah. Waktu itu dan sampai sekarang, saya lebih fokus pada cita-cita saya yaitu menjadi wartawan, jalur manapun yang saya tempuh sama saja selama itu masih bisa berkesinambungan dengan upaya saya menggapai cita-cita. Saat ini, Cina bisa dibilang sebagai negara berkembang yang sedang membuka diri terhadap segala-galanya, sehingga saya optimis bahwa pilihan saya adalah pilihan yang tepat.
Kuliah di sini membuat saya merasa bersyukur akhirnya keluar dari lingkungan yang homogen, bertemu banyak teman yang beragam, dan saling mempelajari satu sama lain. Saya bersekolah di SMP-SMA swasta yang lingkungan pergaulannya terlalu homogen, sehingga bisa dibilang masuk Universitas Indonesia membuat hidup saya lebih berwarna. Dalam segala aspek. Hidup di kosan sendiri, harus mengatur waktu dan keuangan sendiri, juga membuat saya belajar. Saya tidak menganggap ini sebagai suatu beban, melainkan privilege dari Semesta. Tidak banyak manusia yang diberikan privilege seperti ini. Ada yang menghabiskan seluruh masa mudanya dimanja orangtua, selalu diurus oleh orang rumah, dan saya adalah salah satu anak yang akan berakhir seperti itu, seandainya saja saya tidak masuk UI.
Di tahun kedua, saya dipercaya untuk menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusan Cina, yaitu IMSi. Ikatan Mahasiswa Sinologi. Alhamdulilah alhamdulilah..tapi ternyata...jadi ketua itu..gak gampang. Ngerangkul orang-orang yang apatis itu lebih susah dari nyari kutu. Selain itu saya anaknya juga mageran. Tapi alhamdulilah lagi, ternyata perasaan dipercaya dan diberi tanggung jawab itu luar biasa. Dengan bantuan segenap angkatan 2008 yang saat ini sedang menjabat sebagai kakak tertua pun, saya merasa usaha kami kemarin menyatukan berbagai angkatan cukup he'eh. Gak bisa dibilang berhasil juga, karena berhasil atau nggak itu relatif, namun menurut relativitas saya, ya kami cukup sukses :D
Itu tadi dari segi kehidupan non-akademis. Kalau dari segi kehidupan akademis, kepada semua calon mahasiswa/i sastra Cina UI, baik yang udah diterima atau baru niat mencoba masuk sini, jangan down dulu kalau melihat komen berbau negatif tentang kuliah di sastra Cina. Kehidupan perkuliahan emang susah. Semua mata kuliah ya pasti aja ada susahnya. Kalo gak mau susah ya, jangan kuliah. Leha-leha aja di rumah, sesekali keluar cari makan, siapa tahu ada yang buang ye kan. Satu hal yang pasti, jangan pernah takut gagal atau takut susah. Jadilah orang yang pamrih. Dalam artian begini, orang yang mau susah dan berani gagal akan dapat imbalan yang lebih besar daripada orang yang ogah susah dan takut gagal. Jadi kejarlah imbalan itu, jadilah pamrih! Saya ngomong gini bukan berarti saya orang termau susah dan terberani gagal se-sastra Cina UI, tapi karena saya merasa hanya itulah satu-satunya kriteria ideal untuk orang yang mau kuliah di Sastra Cina UI (sebenarnya kuliah di manapun sih, cuma karena saya cuma pernah kuliah di SasCin UI ya saya ga berani tulis 'kuliah di manapun' hehehe).
Ya udah sih gitu aja. Santai aja masbro mbaksis. Saya cabut dulu, ga bisa lama-lama main internet, harus belajar Bahasa Cina Modern, Bahasa Cina Klasik, Historiografi, Sejarah Cina Kontemporer, Dasar-dasar Pemikiran Cina, Pengkajian Kesusastraan..*fade out, away masuk gua* Godspeed.
Sunday, April 8, 2012
Let Me In, Please
Yang pasti gue suka banget dengan tone horor yang dipilih film ini, kalo ala sotoy-sotoyan gue sih, mengingatkan gue akan film-film horor Asia, and I like it. *meme Rianti Cartwright lagi senyum* Akting Chloe Moretz dan Kodi Smit-McPhee pun terasa pas, innocent, dingin, dan asik lah pokoknya. Meskipun sekali lagi, hal yang selalu ingin gue lihat saat menonton penampilan duo pemeran utama dalam suatu film romantis adalah, mereka harus terlihat seperti sepasang kekasih, bukannya orangtua dan anak, atau kakak dan adik. Hal ini gak gue dapatkan di serial Korea The Moon That Embraces The Sun dan kali ini di Let Me In juga.
Let Me In membuat gue penasaran mau nonton Let The Right One In, film Swedia yang diadaptasi Matt Reeves menjadi Let Me In. Juga semakin membuat gue yakin bahwa gue memiliki ketertarikan yang aneh akan hal-hal yang berbau darah. Dan keabadian. Hmm. I heart vampires lah ya pokoknya. Godspeed.
Friday, March 23, 2012
Standar Kecantikan Indonesia
Begitu dateng di tempat si tante, sebut sajalah namanya tante Atiek (Atiek CB kali mak), doi langsung berbicara mengenai apa saja yang ada di pikirannya, sampai-sampai gue berpikir, jangan-jangan orang ini asperger ringan.
Tante Atiek pun mengomentari bagian belakang gue yang emang agak semlohai layaknya gitar Fender Stratocaster American Deluxe Series (apalah ini, bebas) sambil menepuk-nepuknya. Dalam hati gue berpikir, huh sayang dia seorang tante, bukan om.
Setelah itu, doi pun lanjut mengomentari kecantikan anak-anaknya nyokap gue.
"Tapi anaknya ini cakep-cakep semua loh, biar gede-gede badannya, tapi cantik mukanya. Hidungnya semuanya hidung hoki loh nih. Iya loh ci, anaknya yang ini," noleh ke kakak gue, "cantik loh mukanya."
Setelah itu doi menoleh ke gue dan berkata, "Kalo yang ini emang item ya kulitnya, ikutin papanya kali ya," doi berkata dengan nada yang sedikit condescending seakan berkata, 'putihin dikit kulitnya bisa kale.'
Pak dung dung pak dung pak dung pak! Mak terus napa mak kalo kulit akika item...napa mak? Napa?? Napa?? Selain karena emang campuran anak Cina-Flores, gue anaknya juga sporty dan atletis, senang bermain di bawah matahari, apalagi main layangan di pinggir rel kereta sama nonton Inbox live di siang bolong. Lagian menurut riset terpercaya, kulit masyarakat negara tropis emang lebih bagus berwarna gelap untuk menghindari terserapnya sinar-sinar jahat matahari dan mengurangi resiko kanker kulit.
Oke jangan pusing dulu. Mari kita tanya Galileo.
Masih inget peribahasa Barat 'the grass is always greener on the other side' kan? Nah mungkin ini berlaku juga buat orang Indonesia. Sampai-sampai ada iklan rokok yang makin menegaskan bahwa kebiasaan orang Indonesia tuh kayak kambing-kambing yang ada di iklan itu. Liat halaman sebelah rumputnya lebih banyak dan ijo, langsung mengkambingbuta pindah ke halaman sebelah, padahal belum tentu rumput yang ijo itu lebih enak dari rumput sendiri.
Sedihnya, ya emang ga bisa pukul rata sih, tapi kebanyakan dan rata-rata standar kecantikan bagi orang Indonesia itu adalah kulit putih. Seorang teman wanita mengakui bahwa standar kecantikannya bagi sesama wanita ya memang adalah kulit putih. Mau sejelek apapun mukanya, kalo putih pasti cakep. Seorang teman wanita yang lebih ekstrem lagi mengatakan bahwa seleranya semenjak masuk UI berubah. Sekarang kalau liat cewek putih dikit, pasti dibilang cakep. Kalo dulu, model cewek macam gue ini bisa aja dia bilang cantik. Sedih ya, mau nyanyi ah. Cukup sekali aku merasakan..kegagalan kulit.. *brb suntik vitamin C*
Gue belum berani membandingkan dengan keadaan di Inggris atau Amerika, karena emang belum pernah ke sana. Tapi denger-denger sih emang katanya mbak-mbak di sana juga kepengen banget kan punya kulit tanned kayak orang-orang Indonesia? Makanya ribet-ribet berjemur, terus sampe banyak tanning salon di mana-mana. Jessica Simpson ama Paris Hilton aja sampe rela terus-terusan keliatan seperti wortel kematengan, semua demi kulit tanned yang terlihat sehat seperti baru dicium matahari ala-ala wanita Asia Mongolian.
Bedanya dan enaknya, mereka yang berkulit putih dari sononya, dengan gampang bisa menghitamkan kulit. Kita yang kulitnya coklat dari sononya lebih susah lah ya buat mutihin kulit. Susu aja bisa langsung jadi ungu karena nila setitik, tapi emang nila setitik bisa jadi putih begitu dicampurin susu sekolam?
Obsesi para perempuan Indonesia untuk memiliki kulit putih nan bersinar ala-ala mutiara pantai selatan, mungkin karena patokan kita akan segala hal yang bagus itu adalah hal-hal yang berasal dari Barat. Udah keliatan dari iklan sampo juga. Kenapa ahli pakar rambutnya harus si bapak Bule, yang sebut saja namanya Thomas Waw? Kemana Rudi Hadisuwarno sama Johnny Andrean? Di gathering event Coach Surfing baru-baru ini yang diadakan di Jakarta, turis bule terbukti lebih banyak disamperin daripada turis Jepang yang kulitnya, yah, agak-agak sebelas-dua belas lah sama kita, kuning-kuning kunyit asem. Nama mall-mall sekarang pasti harus selalu berbau 'City' atau 'Plaza' atau 'Town'? Ga bisa pake 'Kota' atau 'Pusat' aja? Bapak ibunya matanya belo, kulitnya coklat, tapi nama anaknya Jennifer, Jessica, Janice, Dylan, Ethan, Brandon. Kenapa nggak Arjuna, Adaninggar, Agni, Ambarawati?
Delapan dari sepuluh laki-laki teman sepermainan gue mungkin akan menjawab cakepan Julie Estelle saat harus memilih antara Julie Estelle dan Anggun C.Sasmi. Ini adalah sebuah survey yang belum sempat gue lakukan namun akan gue laksanakan begitu sudah mulai bersekolah kembali. Kenapa Julie? Mungkin karena Julie bule. Mungkin karena Julie putih.
Karena ya yang bagus selalu dari negara dunia kesatu. Negara-negara Amerika dan Eropa. Seenggaknya itu sih pemikiran mayoritas yang akhirnya gue simpulkan dari analisis sotoy-sotoyan gue seorang.
Intinya sih, kenapa pembicaraan gue jadi muter-muter, intinya sih cuma ngomongin warna kulit doang sih ya..bagi gue, pernyataan bahwa standar kecantikan orang Indonesia itu cuma satu yaitu kulit putih bukanlah suatu stereotyping tanpa alasan, karena toh pada kenyataannya biasanya memang seperti itu. Pendapat mayoritas tetaplah pendapat mayoritas dan itulah yang akhirnya membentuk suatu standar.
Semoga orang-orang dengan kulit Indonesia aseli seperti gue dan teman-teman sesama rakyat Indonesia yang lain tetap memiliki tempat khusus di hati para pemirsa sekalian. Kami ini layaknya warna pink. Warna yang pada awalnya adalah warnanya lelaki, dan kemudian ditukar paksa sebagai warna ciri khas perempuan, dan kemudian saat hendak digunakan kembali oleh laki-laki, dipandang sebagai sesuatu yang tak lazim cenderung menjijikkan. Janganlah kalian lupa, cokelat, hitam, dan kuning adalah warna asli orang Indonesia. Izinkan kami mengenakannya dengan rasa damai dan bangga.
Godspeed.
Monday, March 19, 2012
The Lost Longing
Monday, March 12, 2012
I
Sunday, February 19, 2012
A Beautiful Mess
Tuesday, January 24, 2012
Love Me
Thursday, January 19, 2012
China Studies Major University of Indonesia Proudly Presents:Sinofest XI
Saturday, January 14, 2012
C.I.N.A
“Kamu tahu apa yang paling ditakuti orang di dunia ini?”
“Hmm, senjata api? Nuklir? Wabah?”
“Bukan, bukan tiga-tiganya. Kamu tahu apa?”
Aku yang mulai bosan dengan pertanyaannya yang berulang-ulang ini kemudian hanya menggeleng pelan sambil memasang ekspresi ‘wow aku sangat tertarik dengan apa yang sedang kau bicarakan’ terbaikku.
“PENA,” ucapnya perlahan dengan nafas yang sedikit ditahan. Mungkin untuk mendapatkan efek dramatis, entahlah aku tak tahu. Yang pasti sekarang aku merasa canggung. Aku datang untuk diwawancara, bukan untuk mendapatkan kuliah dari Mario Teguh KW Super ini.
Biar kujelaskan lebih dulu bagaimana situasiku sekarang. Umurku 21 tahun, bulan lalu aku baru saja lulus dari sebuah universitas ternama di Jakarta dengan nilai yang tidak cum laude, namun bisa dibilang cukup memuaskan untuk ukuran seorang mahasiswa yang hanya belajar jika keesokan harinya ada ujian. Sedari SMA aku memang tidak pernah suka mengulang pelajaran di tempat lain selain di kelas. Menurutku, belajar ya di kelas, keluar dari kelas kau tidak boleh belajar. Yang harus kau lakukan adalah melakukan hal-hal yang bisa membuatmu melupakan kepenatan belajar di dalam kelas. Bagiku, hal itu adalah menulis.
Aku sudah mulai menulis sejak lama. Tulisan pertamaku yang bisa kuingat adalah surat cintaku kepada teman sebangkuku di Sekolah Dasar. Namanya Ami. Pipinya selalu bersemu merah ketika tersenyum. Bau minyak kayu putih selalu tercium samar-samar menguar dari tubuhnya. Anehnya, aku suka bau itu. Bau itu mengingatkanku pada bau nenekku di kampung yang sudah berusia 70 tahun. Setelah itu aku terus menulis banyak hal. Puisi, cerpen, artikel, sampai surat opini. Namun, bodohnya tidak ada satu pun dari karya tulisku itu yang kuperlihatkan atau kucantumkan di tempat yang bisa dilihat oleh khalayak. Semua itu hanya tersimpan rapi di rak bukuku, di dalam lusinan buku-buku catatan yang telah menemani waktu-waktu kosongku.
Tersimpan rapi sampai hari ini. Hari di mana aku memutuskan mencoba berjudi dengan nasib, dan melamar pekerjaan di sebuah surat kabar yang bisa dibilang adalah pahlawan masa kecilku. Ya, kalau pahlawan masa kecil anak-anak kebanyakan adalah tokoh di dalam komik atau kartun animasi di televisi, pahlawan masa kecilku adalah sebuah surat kabar. Sebuah surat kabar yang telah memberi makan mulut-mulut di dalam keluarga intiku yang kecil. Ayahku adalah staf humas di surat kabar ini dan pensiun pada saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Ibuku adalah kepala bagian administrasi yang jatuh cinta kepada ayahku, seorang pemuda polos dari kampung yang sama sekali tidak terkontaminasi oleh pikiran-pikiran bulus orang kota. Tiap hari ayahku akan membawa pulang surat kabar gratis, dan kami bertiga selalu antri untuk membacanya. Kemudian, 21 tahun kemudian, di sinilah aku, duduk di ruangan kecil ber-AC ini, menyiapkan hati dan mental untuk apa yang akan kuhadapi selanjutnya. Laki-laki yang jika dilihat dari penampilannya itu sepertinya lebih tua dua kali lipat dariku, kembali melanjutkan pidato kecilnya.
“Ya, sudah bertahun-tahun, berdekade-dekade, dan bahkan, berabad-abad, manusia menggunakan pena sebagai senjata andalannya. Sartre, Lu Xun, Li Bai, Kant, Gie, dan beribu-ribu nama lainnya menggunakan pemikiran dan tulisan untuk mengubah dunia. Bukan senjata. Bukan nuklir!” gaya bicara laki-laki ini seperti tokoh-tokoh dalam film-film, dengan ekspresi yang hidup, mata berbinar-binar, dan tangan yang selalu aktif bergerak mengikuti intonasi suaranya. Saat ia ingin agar kata-katanya lebih hidup dan berapi-api, ia membelalakkan matanya lalu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah. Ini mengingatkanku pada film-film mafia Itali di mana para tokohnya sering menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang mengukur sesuatu.
“Dan itulah yang menginspirasi surat kabar ini untuk bisa menjadi seperti sekarang ini. Pena,” ujarnya dengan nada konklusif yang menyiratkan kepuasan akan apa yang telah dia sampaikan kepadaku selama setengah jam terakhir.
“Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kamu siap atau tidak menjadi pewarta Pena. Seorang jurnalis harus menyajikan suatu kebenaran tanpa distorsi apapun, tidak peduli situasi apapun yang sedang dihadapinya. Ia harus menjadi terang di antara yang benar dan yang salah.”
Bekerja di Pena merupakan impianku sejak kecil, dan harus kuakui apapun yang laki-laki ini lakukan, ia telah melakukannya dengan baik. Ia berhasil menantang hati nurani kecilku untuk menjadi yang sesuatu yang lebih dari aku yang sekarang. Aku mengangguk dengan perlahan namun pasti.
“Bagus, nak. Saya sudah membaca dua karyamu yang kamu kirimkan via pos. Saya tahu ayahmu. Yang harus kamu ingat adalah, bukan karena ayahmu kamu bisa diterima bekerja di sini, namun karena dua bundel kertas yang kamu kirimkan ke saya minggu lalu. Dua-duanya luar biasa.”
Aku mencerna kata-katanya sebentar, lalu bertanya dengan ragu-ragu. “Jadi..maksud Bapak, saya diterima bekerja di Pena?”
“Selamat datang di Pena, nak,” ucap Pak Candra, itulah nama si Bapak ini, dengan senyum lebar di wajahnya dan tangan yang terbuka, menyambutku masuk ke dalam keluarga Pena.
Hal selanjutnya yang kuingat adalah aku berlari pulang ke rumah, berteriak memanggil ibuku, memeluknya dan setelah itu aku masuk ke kamarku, menutup pintu dan berlutut. Kupejamkan mata, kuhirup nafas dalam-dalam dan mulai berbicara dengannya. Terima kasih untuk segalanya, Yah. Ayah memang selalu tahu yang terbaik untuk Wisnu. Wisnu akan selalu berpegang pada cita-cita Ayah. Menulis untuk mengubah dunia. Pasti.
Seminggu pertama aku bekerja, Pak Candra sudah mengutusku ke berbagai tempat di Jakarta dan Pulau Jawa untuk meliput. Hal pertama yang kuliput adalah peluncuran buku seorang penulis wanita yang cukup kontroversial. Selanjutnya hari-hariku dipenuhi dengan tugas meliput kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Setelah sebulan bekerja, Pak Candra mulai mempercayaiku untuk merambah ke bidang lainnya yang telah kuidam-idamkan sejak dulu, Ekonomi dan Politik. Krisis finansial Asia, peningkatan inflasi, sampai akuisisi sebuah bank ternama di dunia, dipercayakan oleh Pak Candra untuk kuliput. Aku merasa seperti di atas awan. Inilah pekerjaan yang sedari dulu kuimpikan. Bukan hanya mencintai apa yang kita kerjakan, namun juga mengerjakan apa yang kita cintai!
Sampai suatu hari Pak Candra memasuki ruangan kantor dengan muka asam. Kami para jurnalis yang sedang sibuk menulis meliriknya sambil bertanya-tanya dalam hati tanpa ada yang berani mengungkapkan apa yang kami pikirkan. Ia berhenti sebentar di tengah ruangan, menyibakkan rambutnya ke belakang, menutup mata, lalu bertahan dalam pose itu selama beberapa detik sebelum menghela nafas panjang dan kemudian memanggilku.
“Wisnu, masuk ruanganku lima menit lagi ya.”
“Baik, Pak.” Wajahku menunjukkan ekspresi tenang meskipun hati ini sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Rekan-rekanku yang lain juga melemparkan pandangan penuh tanya ke arahku yang hanya kubalas dengan mengangkat bahuku sedikit. Setelah mengetik satu paragraf, aku pun bangkit dan berjalan menuju pintu ruangan Pak Candra.
“Masuk, Wis.” Lalu ia mengisyaratkanku untuk duduk.
“Kita tidak bisa menulis hal-hal seperti kemarin lagi.”
“Maksud Bapak? Seperti artikel penggelapan uang yang saya tulis kemarin?” Pak Candra tidak menjawab pertanyaanku, namun aku tahu diamnya itu berarti iya.
“Tapi itu memang kenyataan, Pak. Itu yang saya dapat dari hasil wawancara dan observasi saya! Kalau itu tidak saya tulis, itu sama saja dengan membelokkan fakta, Pak!”
“Iya, saya tahu. Saya sudah menjadi wartawan lebih dulu dan lebih lama dari kamu. Saya tahu betul tentang itu, Wisnu.” Pak Candra berhenti sebentar, mengambil kotak rokok bergambar Mao Zedongnya dan menyulut sebatang rokok.
“Kamu tahu betapa sulitnya kakek saya dulu membangun surat kabar ini?” Aku menggeleng.
“Sulit sekali bagi orang Tionghoa yang tinggal di sini untuk membuka sebuah perusahaan surat kabar. Bukannya kenapa-kenapa, tapi uang. Birokrasi selalu meminta uang yang lebih dan lebih lagi. Mereka pikir semua orang Cina pasti kaya. Surat kabar ini pernah nyaris bangkrut kamu tahu? Ayah saya dulu pernah menulis artikel yang menyinggung beberapa pihak, kemudian Pena ditutup selama tiga bulan sampai akhirnya Kakek saya membayar uang tebusan Ayah. Untuk menjalankan Pena kembali pun, masih saja dibutuhkan ini lagi,” cerita Pak Candra sambil membuat gerakan isyarat ‘uang’dengan tangannya.
“Bapak..keturunan Cina?”
“Tionghoa, Wis. Tionghoa. Kakek dan ayah saya, bisa mencak-mencak kalau dengar kata itu. Cina. Mereka berdua sepertinya sudah sakit hati sekali dengan kata itu. Korban rasisme mereka dulu,” Pak Candra tertawa kecil, membuang puntung rokoknya ke asbak, dan mulai menyulut batang yang kedua.
“Eits, maaf, kamu mau?” ia menyodorkan kotak rokoknya kepadaku. Aku menggeleng pelan. Pak Candra pun melanjutkan ceritanya lagi.
“Tapi kalau saya sih sudah bukan Cina lagi. Keturunan sih iya, cuma kamu lihat lah muka saya ini. Mata belo, kulit coklat, rahang macam orang Batak. Sering dikira orang Batak saya ini. Kebetulan pula aku ini orangnya senang ngerjain orang. Suka kali aku ngomong pake logat Batak macam ini. Bah!,” Pak Candra tertawa dan aku juga ikut tertawa.
“Ibuku orang Cina-Flores, ayahku Cina totok dari Bangka-Belitong. Ibuku orang pertama yang membuat Ayah yakin bahwa perbedaan itu indah. Ada untuk dihargai, bukan untuk diinjak-injak. Manusia itu tidak boleh dikotak-kotakkan, kau tahu Wis? Kadang mereka lebih baik diplastikkin.” Lelucon Pak Candra yang terasa kering mau tak mau membuatku tertawa.
“Intinya,” pak Candra mengangkat satu telunjukknya dengan telapak tangan menghadap ke arahku. Nada bicaranya kembali serius. “Intinya, aku masih punya keluarga yang harus kutopang. Apa kata anak istriku nanti kalau aku pulang membawa barang-barang dari kantor karena kantornya terpaksa harus ditutup? Mulai sekarang kita tidak akan menulis hal-hal seperti kemarin lagi. Kalau memang yang kita temukan adalah borok, ya tulis yang bagus-bagus saja, buang boroknya. Atau tidak usah kita tulis sama sekali saja.” Aku terdiam sebentar meresapi kata-katanya.
“Tapi pak, apa kata anak Bapak saat ia sudah besar nanti, dan ia menemukan bahwa ayahnya hanyalah bentukan atau ‘pesanan’ birokrasi?”
“Maka akan kuceritakan yang sesungguhnya, sehingga anakku tidak akan berakhir seperti bapaknya.”
Idealisme lawan Realita. Pak Candra sang idealis yang ingin menjadi lilin di antara kegelapan akhirnya tunduk menyerah pada kenyataan. Ini seperti menonton film superhero dengan sebuah akhir yang menyedihkan. Namun Wisnu bukan Pak Candra. Aku tidak akan menyerah pada mereka yang ada di atas! Kekuasaan ada di dalam pena dan tulisan, bukan di dalam uang! Aku terus menuliskan tentang kebobrokan birokrasi meskipun Pak Candra telah melarangku. Setelah tulisan-tulisan itu terbit dan masuk ke dalam surat kabar, toh Pak Candra pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Seorang penjaga sel membawa senapan berburu panjang membuka pintu sel. Di belakangnya dua orang pria dengan setelan rapi dan berjas putih panjang, sepertinya dokter, menatapku dengan teliti. Penjaga sel mempersilakan kedua dokter itu masuk, menutup pintu lagi, dan berdiri di depan pintu memperhatikan kami dengan seksama.
“Halo, Candra.”
“Aku bukan Candra! Aku Wisnu!”
Kedua dokter itu saling berpandangan. Yang satu yang sepertinya terlihat lebih muda, menjelaskan situasinya kepada dokter yang lagi yang kira-kira berusia empat puluh tahun.
“Candra Indra Natama Anggara adalah kasus kita yang cukup spesial, Dok. Ia mempunyai seorang ‘teman’ bernama Wisnu, yang sifatnya merupakan kontradiksi dari Candra. Sejauh analisis kami, Wisnu muncul dari tekanan yang dialami Candra. Wisnu adalah bentuk pemberontakan seorang Candra. Karena pemberontakan seorang Wisnu, maka sekarang mereka berdua ditahan di sel ini. Yang sedang kami coba yakinkan kepada para juri dan hakim adalah terdakwa memiliki penyakit jiwa yang menyebabkannya tidak bisa membedakan kenyataan. Dan seperti yang Dokter lihat tadi, yang ada di depan kita sekarang adalah Wisnu.”
“Apa yang kalian bicarakan? Aku memang Wisnu! Pak Candra tidak ada di sini! Ia telah kalah! Ia bebas bersenang-senang di luar sana dengan para orang kaya itu, sementara aku di sini menang! Biarpun aku terkurung, tapi aku menang! Aku akan terus menulis sampai tanganku lumpuh. Tidak, bahkan setelah tanganku lumpuh, aku akan menulis dengan mulut. Kalau mulutku lumpuh, akan kutulis dengan kaki!”
“Namamu bukan Wisnu. Kamu adalah Candra Indra Natama Anggara. Kalau kamu tidak percaya kamu boleh lihat papan itu,” dokter yang lebih tua mengisyaratkanku supaya melihat ke papan putih yang digantung di kaki tempat tidurku. Di atas papan itu tertulis,
Nama: C.I.N.A
Tanggal: 21-02-1991
Penyakit: Skizofrenia/Gila